SMS dari isterinya pagi itu membuatnya gundah, kecewa dan marah. Meskipun singkat, tetapi kekuatan kalimatnya melahirkan makna menggunung. Isinya menusuk ke jantung dan pilihan katanya tajam. Hatinya membatin. Sebuah ”sarapan pagi” yang lain dari biasanya.
Tak ada teh hangat atau susu dan roti. Tak ada salam dan kecupan sayang sebelum berangkat. Dan tak ada senyuman mengiringi keberangkatan kerjanya. Sarapan pagi yang tanpa gizi fikirnya.
Bulan-bulan terakhir di akhir tahun 2009 dirasakannya sebagai masa yang penuh konflik batin. Intensitas beragamanya diakui hampir menyentuh titik terendah. Dalam sebulan, hampir ada satu atau dua shalat wajib yang bolong. Tahajjudnya menjadi begitu langka, kecuali Dhuha yang tetap rutin didirikan. Disadarinya belakangan bahwa ia begitu lalai merajut tali kasih dengan Rabbnya. Batinnya merasakan kehampaan dan hilang kelezatan dalam beribadah.